Sabtu, 20 September 2008

M Iqbal, Peluru Nyasar dan Surat Tilang

Setelah selesai menulis tiga berita, dan kelar mengerjakan beberapa tugas lain untuk persiapan liputan esok hari, Wawan segera mengemas tas untuk pulang dengan niat agar dapat santap sahur di rumah.

"Bang, aku pulang duluan," ujar Wawan seraya pamit dengan salah seorang redakturnya.

"Aku ikut dong sampai depan, sampai ketemu taksi," ujar seorang redakturnya. "Oke, tunggu di bawah yah," Wawan menyetujui.

Jalan Jakarta malam ditelusuri bersama obrolan ringan tentang berita yang akan naik cetak esok hari.

Halaman depan koran besok hari akan memberitakan running kasus tertangkapnya salah seorang penegak hukum karena kasus suap "Gila bener bangsa ini. Satu persatu borok petugas sudah mulai ditelanjangi," ujar sang Redaktur sambil menceritakan, tertangkapnya M Iqbal anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena kasus suap Rp500 juta.

Obrolan terhenti ketika tampak di depan ada barisan polisi lalu lintas lengkap dengan tongkat lampu warna merah terang pengatur lalu lintas. Ternyata, ada razia kendaraan oleh petugas Kepolisian Sektor Matraman, Jakarta Timur.

Wawan langsung menepikan motornya menuruti perintah salah seorang petugas. "Malam pak, tolong surat-suratnya," kata petugas.

Dengan sigap dirinya mencari Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Surat Izin Mengemudi (SIM). Wawan yakin kalau surat-surat yang diminta ada di dalam tas punggungnya. Maklum, dirinya enggan meletakkan dalam dompet karena surat-surat ini hanya dikeluarkan ketika petugas parkir kendaraan di Mall atau di beberapa gedung yang menerepkan sistem ketat penjagaan parkir .

"Sebentar pak, saya cari yah. Ada kok,".

Dengan santai dia merogoh isi tas berharap jari-jarinya langsung menyentuh barang yang dicari. Beberapa pelosok tas dijelajahi, namun tak ditemukan apa yang dicari, dirinya pun mulai membongkar muatan tas.

Dirinya mulai sedikit panik, karena barang penting yang dicarinya ternyata tidak ada. Ternyata benar, surat-surat yang diminta tertinggal di rumah. Hal ini diketahui setelah dirinya menelpon di rumahnya di Tangerang.

Tanpa banyak tanya petugas berpakaian preman langsung menahan kunci motor dan mengancam akan menahan dan akan membawa motor ke kantornya, karena jika tidak ada STNK dikhawatirkan motor curian.

Tak mau menyerah, Wawan dan redakturnya meminta agar petugas jangan menahan kendaraan. Namun, petugas yang belakangan bertugas sebagai reserse buru sergap (Buser) di Polres Jakarta Timur itu tidak bergeming.

"Tidak bisa, motor ini harus ditahan," tegasnya.

Lobi dan negoisasi gak mempan, mungkin seiring pembenahan birokrasi aparat penegak hukum , polisi mulai mengikis budaya uang aman saat melakukan tugas.

"Tugas Anda wartawan, dan saya juga menjalankan tugas saya sebagai polisi," tutur petugas tersebut.

Tanpa harus mendengar celotehan petugas tersebut sebetulnya Wawan cukup mengerti, kalau profesionalisme petugas sebagai pengabdi masyarakat menjadi agenda utama TNI/Polri di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Seiring dengan prestasi polisi belakangan ini yang berhasil menangkap gembong teroris, pelaku illegal loging sampai membongkar jaringan internasional penyelundupan Narkoba, Wawan pasrah motornya ditahan dan sadar karena dirinya salah membawa kendaraan tanpa surat, sekaligus berencana mengambil STNK dan SIM di rumahnya di Tangerang esok hari.

"Silakan ketemu atasan saya di sana," pinta petugas tersebut.

Wawan menghampiri salah seorang kepala operasi razia tersebut berpangkat sersan tertulis nama Basuki Koes di dada papan nama.

"Pak saya minta surat tilang. Motor saya ditahan karena tidak bawa surat-surat," pintanya. Petugas itu pun meminta kartu tanpa pengenal Irfan untuk dicatat. Namun, tanpa diduga, dari pemimpin razia tersebut keluar kalimat.

"Sudah, kita ambil jalan tengah saja. Rp100 ribu sebagai ganti tilang," tuturnya.

Tawaran ini ucap petugas lebih murah daripada harus ke Pengadilan Negeri. Suasana langsung hening di kepala seiring lunturnya kepercayaannya kepada petugas penegak hukum. Prestasi serta ketegasan kepada penegak hukum langsung hilang oleh permintaan Rp100 ribu.

Terlebih, baru saja dirinya menulis tentang insiden peluru nyasar akibat kelalaian aparat kembali menelan korban jiwa. Akibat lalai, seorang bocah perempuan, Sri Wahyuni (6 tahun), tewas akibat terkena peluru nyasar dari senjata laras panjang Brigadir Dua Polisi Suprianto di Lembaga Pemasyarakatan Bojonegoro, Jawa Timur.

Wawan tetap minta ditilang daripada menyuap, namun petugas ini tetap ngotot meminta uang pengaman. "Pak, biar ditilang saja,". Tapi petugas itu tetap tidak mau. "Kalau di pengadilan saya tidak dapat apa-apa," ujar perwira tersebut polos. "Kalau tidak ada, setengahnya juga tidak apa-apa," tuturnya sedikit membentak, dan Wawan pun menyerah angkat tangan.

Profesionalitas aparat yang sedang digalakkan, ternyata benar-benar tidak menyentuh lapisan bawah. Entah apa yang membuat mereka rela mengubur harga diri demi uang yang hanya cukup untuk beli pulsa. Bukan pada jumlahnya. Rp500 juta dan Rp50 ribu tetap saja sama judulnya, Korupsi.

Sementara M Iqbal jadi pesakitan di KPK, namun aparat Polsek Matraman asyik menikmati hasil operasi malam itu dari puluhan motor yang mereka berhentikan malam itu. "Hati-hati di jalan. Awas ditilang lagi di depan," tutur petugas tersebut sambil berlalu. Ironis.